Arsip Blog

Kamis, 06 Juni 2013

Takut, Wibawa, Cara mendidik tahun 80-an

Hari ini ada satu kejadian yang membuat saya ingin menuliskannya di blog ini. Mungkin setelah menuliskanya akan sedikit membuat hati saya tenang. Ayah saya marah karena suatu hal yang sebenarnya saya merasa tidak salah melakukannya. Disaat adzan maghrib saya mulai menghidupkan tv sembari menunggu adzan selesai, agar saya bisa sholat setelahnya. Lalu Ayah tiba-tiba marah dan menyuruh saya mematikan tv. Ayah saya marah dengan alasan tv sudah lama digunakan? Dan menyuruh cepat sholat? Ini sebenarnya yang membuat saya menggunakan logika. Bagaimana mungkin saya dikatakan sudah lama menggunakan tv? sementara saya baru menghidupkanya untuk beberapa menit? Dan bagaimana saya bisa langsung beribadah sholat? sementara adzan baru dikumandangkan? Bukankah biasanya orang baru bisa melaksanakan sholat setelah adzan selesai dikumandangkan. Nah! Ini yang saya pertanyakan selama ini, Ayah saya selalu menggunakan amarah untuk membuat anak jadi penurut? Saya mengalaminya sepanjang hidup saya. Setelah saya telusur saya coba lihat dari cara mendidik saudara dan saudari Ayah saya, walau pun tidak 100% identik cara mereka mengajarkan anak-anaknya, tapi juga menggunakan trik amarah itu tadi. Pernah saya diceritakan oleh Nenek(Ibu dari Ayah saya) dan Ayah saya, sewaktu dulu jika Ayah saya dan saudara-saudarinya dididik selain menggunakan amarah, juga menggunakan alat seperti rotan? Wah! Mendengarkan ceritanya saja saya jadi berpikir. Apakah untuk terlihat berwibawa para orang tua zaman dahulu di tahun 80-an, harus menggunakan amarah? Untuk mendidik anak? Memang sih, positifnya itu secara instan membuat anak jadi menuruti orang tua. Tapi dari sisi negatif juga membuat anak jadi penakut, hanya bisa melaksanakan perintah orang dan tidak punya rasa inisiatif. Harus hati-hati memberikan didikan dimasa tumbuh dan belajar si anak, jangan sampai si anak malah jadi terlambat berkembang. Karena dalam suatu hubungan antara orang tua dan anak harus ada suatu jembatan yang menyelaraskan agar anak bisa mengerti orang tuanya dan sebaliknya orang tua juga mengerti anaknya. Karena itu jika si anak tidak menurut, jangan langsung menggunakan jalan instan tadi(marah, main fisik), jiwa seorang anak adalah sifat yang ingin mendapat kesan baik dari orang tuanya, Anak akan menurut tanpa harus di marahi atau dihajar, apabila orang tuanya berusaha mengerti dirinya dan si anak pun juga akan mengerti keinginan orang tuanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar